
WARTAWAN24.COM Medan – Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara berinisial FA, yang diketahui berasal dari Partai Demokrat, tengah menghadapi laporan serius terkait dugaan tindak pidana kekerasan seksual. Laporan tersebut dilayangkan oleh seorang perempuan berinisial SNL (24), yang bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta nasional.
Kasus ini mencuat ke publik setelah SNL, yang berprofesi sebagai marketing bank, melaporkan FA ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) atas dugaan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tepatnya pada Pasal 6 huruf C. Pasal tersebut mengatur larangan tindakan seksual non-konsensual yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, atau kerugian lainnya bagi korban.
Dalam laporan yang tertuang dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) dengan nomor STTLP/B/664/5/2025/Polda Sumatera Utara tertanggal 2 Mei 2025, SNL mengungkapkan bahwa dirinya tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, namun kini juga tengah mengandung lebih dari tiga bulan, yang diduga merupakan anak dari FA.
SNL yang berdomisili di kawasan Medan Tembung itu mengaku telah menjalin hubungan dengan FA selama beberapa bulan. Namun, hubungan tersebut belakangan berubah menjadi tekanan psikologis dan dugaan pemaksaan hubungan intim tanpa persetujuan. Ia merasa tertekan dan dipaksa berada dalam situasi yang tidak nyaman karena posisi FA sebagai pejabat publik.
Menurut pengakuan korban, FA sempat menjanjikan tanggung jawab atas kehamilannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia merasa diabaikan dan ditekan untuk tidak membuka kasus ini ke publik. Hal tersebut mendorong SNL untuk mencari keadilan melalui jalur hukum dan melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polda Sumut.
Kuasa hukum SNL menyampaikan bahwa kliennya mengalami tekanan mental yang berat akibat peristiwa ini. “Klien kami mengalami trauma yang cukup dalam. Ia merasa terhina, tidak dihargai, dan diperlakukan tidak manusiawi oleh seseorang yang seharusnya menjadi panutan di masyarakat,” ujar sang kuasa hukum dalam konferensi pers.
Kasus ini langsung menjadi perhatian publik, terutama di media sosial dan kalangan pemerhati hak perempuan. Banyak yang mengecam tindakan FA, apalagi ia merupakan pejabat daerah yang seharusnya menjaga etika dan menjadi teladan. Masyarakat meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan tanpa ada perlindungan khusus terhadap pelaku.
Partai Demokrat sebagai partai tempat FA bernaung juga ikut disorot. Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari partai terkait dugaan keterlibatan anggotanya dalam kasus ini. Namun, sejumlah pihak dalam internal partai dikabarkan tengah melakukan penelusuran internal terhadap kasus yang menimpa FA.
Pihak Polda Sumut telah mengonfirmasi bahwa laporan dari SNL telah diterima dan saat ini tengah dalam proses penyelidikan awal. Pemeriksaan terhadap pelapor dan saksi-saksi akan dilakukan untuk mendalami kebenaran laporan tersebut. “Kami akan menangani kasus ini sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tidak ada yang kebal hukum,” ujar Kabid Humas Polda Sumut.
Di sisi lain, publik berharap aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional dan tidak terpengaruh oleh posisi atau jabatan pelaku. Kasus ini dianggap sebagai ujian integritas bagi lembaga kepolisian maupun institusi DPRD dalam menegakkan hukum secara adil.
Komnas Perempuan turut mengeluarkan pernyataan mendukung keberanian korban untuk melapor. Lembaga ini menegaskan bahwa pelaporan seperti ini penting untuk membuka ruang keadilan bagi perempuan yang selama ini menjadi korban kekerasan seksual namun enggan bersuara karena takut akan stigma dan kekuasaan pelaku.
Kasus ini juga menjadi momentum penting untuk memperkuat pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan. Dengan implementasi hukum yang tegas, diharapkan bisa memberikan perlindungan lebih besar kepada korban sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku.
SNL kini berada dalam perlindungan hukum dan psikologis untuk memastikan keselamatan serta kenyamanan dirinya selama proses hukum berlangsung. Ia juga mendapatkan pendampingan dari lembaga perlindungan perempuan yang siap membantunya melewati proses ini.
Hingga saat ini, FA belum memberikan keterangan resmi kepada media. Namun sejumlah pihak mendesak agar ia segera mengundurkan diri dari jabatannya di DPRD Sumut untuk memberi ruang bagi penegakan hukum tanpa intervensi politik. Jika terbukti bersalah, publik berharap ia dijatuhi hukuman maksimal sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik seperti ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak, bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menindas atau menyalahgunakan posisi terhadap orang lain. Keadilan harus ditegakkan, dan hak korban harus dipulihkan tanpa pengecualian.