Revitalisasi Stadion Teladan Berujung Nestapa: Ketika Proyek Prestisius Menjadi Simbol Luka Kolektif

gubernur sumut INFO SUMUT OLAHRAGA MEDAN Pemerintahan pemprov sumut

WARTAWAN24.COM – Proyek revitalisasi Stadion Teladan yang semula digadang-gadang sebagai salah satu proyek prestisius Pemerintah Kota Medan kini berubah menjadi sumber kekecewaan dan kesedihan bagi ratusan pekerja serta pelaku UMKM yang terlibat di dalamnya. Proyek senilai Rp510 miliar ini justru menjadi simbol luka kolektif akibat ketidakjelasan pembayaran upah dan jasa dari kontraktor utama, PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE).

Stadion Teladan, yang selama ini menjadi kebanggaan warga Medan sebagai pusat olahraga dan kegiatan masyarakat, tengah menjalani revitalisasi besar-besaran sejak awal 2024. Proyek ini awalnya disambut dengan penuh harapan, tidak hanya karena nilai ekonominya yang besar, tetapi juga karena janji penghidupan bagi banyak pekerja dan UMKM yang dilibatkan.

Namun, harapan itu kini berubah menjadi keresahan. Ratusan pekerja konstruksi, petugas keamanan, teknisi, hingga penyedia jasa katering mengeluhkan keterlambatan pembayaran yang telah berlangsung hampir dua bulan. Mereka mengaku telah bekerja keras setiap hari, namun belum menerima hak mereka sebagaimana mestinya.

Puncak kemarahan terjadi pada Sabtu siang, 19 Juli 2025. Ratusan massa yang terdiri dari buruh proyek dan pemilik jasa katering menggelar aksi demonstrasi di sekitar area proyek Stadion Teladan. Mereka membawa spanduk, poster, dan pengeras suara, menuntut kejelasan dari pihak kontraktor mengenai pembayaran yang terus diabaikan.

Aksi tersebut berlangsung damai namun penuh emosi. Sejumlah pekerja bahkan terlihat menangis saat menyampaikan orasi. “Kami punya keluarga yang harus diberi makan. Kami kerja siang malam demi pembangunan stadion ini, tapi hak kami tak juga dibayar,” ujar Dedi, salah satu pekerja proyek, dengan suara bergetar.

Selain pekerja, pelaku UMKM yang menyediakan makanan dan minuman bagi ratusan karyawan proyek juga ikut menjerit. Mereka mengaku modal usaha mereka telah habis karena terus menerus memasok kebutuhan tanpa pembayaran yang jelas. “Kami diberi janji manis, tapi sudah hampir dua bulan kami tak terima bayaran. Usaha kami hampir bangkrut,” tutur Siti, pemilik usaha katering lokal.

Menurut informasi yang dihimpun, keterlambatan ini disebabkan oleh mandeknya alur pembayaran dari PT WEGE kepada para subkontraktor dan vendor lokal. Beberapa subkontraktor bahkan mengaku belum mendapatkan pembayaran termin sejak Mei 2025. Hal ini menimbulkan efek domino yang menjerat seluruh rantai pekerjaan di proyek tersebut.

PT WEGE hingga saat ini belum memberikan keterangan resmi kepada publik. Pihak pengelola proyek di lapangan juga enggan memberikan penjelasan kepada media. Ketertutupan informasi ini justru memperbesar rasa frustrasi para pekerja yang semakin terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari.

Pemerintah Kota Medan, yang sebelumnya aktif mempromosikan proyek ini, turut menjadi sorotan. Warga dan aktivis mulai mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam mengawasi jalannya proyek yang bersumber dari anggaran besar tersebut. Banyak pihak menilai, minimnya pengawasan menyebabkan ketimpangan dan penyalahgunaan tanggung jawab oleh kontraktor.

Ketua Serikat Buruh Konstruksi Medan, Antoni Lubis, menyayangkan lemahnya transparansi dalam pengelolaan proyek ini. Ia mendesak pemerintah dan DPRD Kota Medan untuk segera turun tangan menyelesaikan polemik ini. “Jika tidak ada tindakan tegas, kami akan melakukan aksi lebih besar. Buruh bukan budak, kami hanya menuntut hak kami yang sah,” tegasnya.

Situasi ini juga berdampak terhadap progres pembangunan stadion. Sejumlah pekerjaan terpaksa dihentikan karena banyak buruh memilih mogok kerja. Beberapa alat berat terlihat diam dan area proyek tampak sepi. Ketertundaan ini dikhawatirkan akan menyebabkan pembengkakan biaya dan ketidaksesuaian jadwal penyelesaian proyek.

Di tengah kekisruhan, suara keprihatinan terus berdatangan dari masyarakat Medan. Mereka menyayangkan bahwa proyek yang seharusnya menjadi kebanggaan kini justru menyisakan luka sosial. “Ini bukan lagi soal stadion, ini tentang kemanusiaan. Jangan korbankan pekerja demi pencitraan proyek,” ujar Riko, seorang mahasiswa yang turut hadir dalam aksi solidaritas.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Taufik Hidayat, menyebut bahwa kasus ini mencerminkan kegagalan manajemen proyek berskala besar yang tidak diiringi dengan sistem pengawasan yang kuat. Ia mendorong agar pemerintah segera melakukan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap proyek Stadion Teladan.

Hingga berita ini ditulis, belum ada kejelasan apakah tuntutan para pekerja akan segera dipenuhi. Massa aksi berjanji akan terus mengawal kasus ini dan kembali turun ke jalan jika tidak ada tindak lanjut dari pihak berwenang. Proyek yang semula digembar-gemborkan sebagai simbol kemajuan kini berubah menjadi cermin kegagalan yang menyakitkan.

Revitalisasi Stadion Teladan telah berubah arah. Dari simbol pembangunan dan kebanggaan, kini menjadi potret ironi tentang janji, tanggung jawab, dan hak yang diabaikan. Pekerja menjerit, UMKM merana, dan masyarakat bertanya—kapan keadilan dibangun, bukan sekadar bangunan megah yang kosong dari nilai-nilai kemanusiaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *