
WARTAWAN24.COM – Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah membahas secara intensif Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online. RUU ini diproyeksikan sebagai landasan hukum formal untuk mengatur penyelenggaraan layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia, termasuk ojek online (ojol) yang selama ini beroperasi tanpa payung hukum khusus.
RUU ini menjadi sorotan publik karena akan menetapkan kebijakan strategis dalam pengelolaan transportasi online, termasuk di antaranya pengaturan tarif dasar, hubungan kerja antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, serta perlindungan konsumen dan pengemudi. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan, kepastian hukum, serta kenyamanan bagi semua pihak yang terlibat.
Salah satu poin krusial yang akan diatur dalam RUU ini adalah penetapan tarif ojek online. Mulai 1 Juli 2025, penyesuaian tarif ojol tidak lagi ditentukan sepenuhnya oleh perusahaan penyedia aplikasi seperti Gojek dan Grab, melainkan akan diatur oleh negara melalui Kementerian Perhubungan dengan mempertimbangkan masukan dari stakeholder terkait.
Kepala Biro Hukum Kemenhub, Rinaldi, menjelaskan bahwa pengaturan tarif bertujuan untuk melindungi pengemudi dari praktik eksploitasi dan persaingan yang tidak sehat. “Tarif akan ditetapkan berdasarkan zona wilayah, jarak tempuh, waktu operasional, serta biaya operasional minimal pengemudi. Ini untuk memastikan bahwa pengemudi mendapatkan pendapatan yang layak,” ujar Rinaldi dalam rapat bersama Komisi V DPR.
Selain tarif, RUU ini juga akan mengatur status hubungan kerja antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi. Selama ini, status mitra sering kali menimbulkan polemik hukum, terutama terkait hak-hak ketenagakerjaan. Dalam RUU yang sedang dibahas, akan ada ketentuan mengenai perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, asuransi kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua bagi pengemudi.
Anggota Komisi V DPR, Dedi Mulyadi, menyambut baik langkah pemerintah dalam menyusun RUU ini. Ia menilai bahwa transportasi online sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat urban, namun belum memiliki dasar hukum yang jelas. “Kita harus mengakhiri status quo ini. Negara harus hadir untuk memberikan keadilan, baik bagi konsumen maupun pengemudi,” tegas Dedi.
Pemerintah juga akan mengatur standar pelayanan minimal (SPM) bagi perusahaan aplikasi. SPM ini mencakup aspek keselamatan, kenyamanan, waktu tunggu maksimal, serta kesiapan teknologi. Dengan begitu, kualitas layanan transportasi online dapat lebih terkontrol dan tidak bergantung pada kebijakan internal masing-masing perusahaan.
Tak hanya itu, RUU ini juga akan menekankan pentingnya sistem pengawasan digital yang ketat. Pemerintah berencana membentuk badan pengawas transportasi online yang akan memantau algoritma tarif, keamanan data pengguna, serta praktik monopoli yang mungkin dilakukan oleh penyedia aplikasi.
Para pengemudi ojek online pun menyambut positif adanya pembahasan RUU ini. Mereka telah lama mengeluhkan ketidakpastian tarif, insentif yang berubah-ubah, serta beban kerja yang tinggi tanpa perlindungan hukum. “Kami tidak minta muluk-muluk. Cukup ada kepastian hukum dan perlindungan yang adil,” ujar Taufik, seorang pengemudi ojol di Jakarta.
Namun di sisi lain, beberapa perusahaan aplikasi menyatakan kekhawatiran bahwa pengaturan tarif oleh pemerintah bisa mengurangi fleksibilitas bisnis. Mereka khawatir intervensi negara bisa menurunkan daya saing dan memperlambat inovasi di sektor transportasi digital.
Menanggapi hal itu, Kemenhub menegaskan bahwa regulasi yang akan dibentuk bukan untuk menghambat perkembangan teknologi, melainkan untuk memastikan bahwa perkembangan tersebut tidak mengorbankan aspek keadilan dan kesejahteraan.
RUU ini juga akan mencakup pengaturan pajak, termasuk kemungkinan penerapan pajak atas layanan transportasi online yang selama ini belum sepenuhnya optimal. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara secara adil dan transparan.
Proses pembahasan RUU Transportasi Online diproyeksikan akan selesai pada akhir tahun 2025 dan segera disahkan menjadi undang-undang. Selama proses ini berlangsung, Kemenhub terus membuka ruang dialog dengan asosiasi pengemudi, konsumen, akademisi, serta pelaku industri teknologi digital.
Ke depan, dengan adanya regulasi yang jelas, pemerintah berharap ekosistem transportasi online di Indonesia akan menjadi lebih tertib, adil, dan berkelanjutan. Semua pihak – dari pengemudi, perusahaan aplikasi, hingga masyarakat – akan mendapatkan kepastian hukum yang selama ini dinanti.
Langkah ini juga menjadi cerminan komitmen Indonesia dalam menata layanan publik berbasis teknologi secara bijak dan berkeadilan. Dengan begitu, transformasi digital tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.